SURABAYA, Memoindonesia.co.id – Tahun baru 2024 membawa ketidakpastian bagi warga miskin penerima bantuan permakanan di Surabaya. Sejak 1 Januari 2024, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah menghentikan program pemberian nasi kotak, mengakibatkan lansia, penyandang cacat, dan yatim piatu miskin kehilangan akses terhadap bantuan permakanan sehari sekali.
Pemkot Surabaya mengklaim bahwa langkah ini diambil untuk menghindari penerimaan dobel bantuan sosial. Warga yang telah menerima Program Keluarga Harapan (PKH) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tidak lagi memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan permakanan.
Imam Syafi’i, anggota Komisi A DPRD Surabaya, segera merespon dengan turun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluhan warga.
Ia menemukan bahwa beberapa lansia terpaksa “poso beduk” atau berpuasa sebelum mendapatkan makanan dari tetangga setelah dihapusnya program permakanan.
Salah satu kasus menyedihkan adalah Bu Munari, seorang janda berusia 60 tahun lebih, yang tinggal sendirian dan tidak menerima pemberitahuan terkait penghentian bantuan permakanan.
Meskipun menerima bantuan PKH sebesar Rp 200 ribu per bulan, Bu Munari menyatakan bahwa dana tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sebulan.
Mbah Marokah, seorang nenek berusia 65 tahun, juga terkena dampak penghentian program ini. Meskipun tidak menerima bantuan sosial lainnya, dia tidak lagi mendapatkan bantuan permakanan yang sebelumnya diantar setiap pagi.
Imam Syafi’i telah menyuarakan keberatannya terhadap kebijakan ini, menekankan bahwa uang pengganti sebesar Rp 200 ribu tidak mencukupi untuk mencover kebutuhan makan sehari selama sebulan.
Ia juga mencatat bahwa pada saat program permakanan berlangsung, nilainya mencapai Rp 11 ribu per orang per hari.
Dampak negatif dari penghentian program permakanan tidak hanya dirasakan oleh para penerima bantuan, tetapi juga oleh ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan, termasuk pemasak dan pengantar permakanan.
Program padat karya yang dijanjikan kepada keluarga miskin untuk memberikan pekerjaan juga belum terealisasi, meninggalkan mereka tanpa sumber pendapatan.
Imam Syafi’i menegaskan bahwa pemkot seharusnya telah mempersiapkan pekerjaan sebelum menghapus program permakanan, bukan setelahnya.
Kritik terhadap kebijakan ini semakin meningkat, sementara Pemkot Surabaya mencoba untuk menjelaskan bahwa program permakanan sebenarnya tidak dihapus, melainkan dialihkan.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya, Anna Fajrihatin, mengungkapkan bahwa perubahan ini terkait dengan aturan belanja bansos yang melarang warga miskin menerima bantuan permakanan bersamaan dengan bansos lainnya, seperti PKH atau BPNT.
Warga miskin yang terdampak oleh kebijakan ini merasakan beban yang berat, sementara harapan agar pemkot meninjau kembali kebijakan ini semakin menguat. CAK/RAZ