DELI SERDANG, Memoindonesia.co.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti vonis ringan yang dijatuhkan kepada Sertu Riza Pahlivi, oknum TNI pelaku penganiayaan terhadap pelajar SMP di Medan berinisial MHS (15). Dalam putusan Pengadilan Militer, Riza dijatuhi hukuman 10 bulan penjara, meskipun korban diketahui meninggal dunia.
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini menilai hukuman tersebut tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan. Menurutnya, proses hukum yang panjang seharusnya menghasilkan putusan yang memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban.
“Dari proses yang lama dan putusan tidak sebanding dengan yang dialami korban,” ujar Diyah, Senin 27 Oktober 2025.
Diyah menyebut, vonis 10 bulan terhadap Sertu Riza tergolong sangat ringan mengingat korban meninggal dunia akibat penganiayaan tersebut.
“Ya, (vonis ringan) anak korban sampai meninggal dunia. Meskipun mereka menyangkal bukan karena tendangan ya,” tambahnya.
Ia juga menegaskan, sejak awal KPAI telah meminta agar kasus ini tidak hanya disidangkan secara etik di lingkungan militer, tetapi juga diproses sebagai tindak pidana umum.
“Sejak awal KPAI meminta agar tidak hanya sidang etik tapi juga pidana,” kata Diyah.
Sebelumnya, korban MHS yang duduk di bangku kelas III SMP Negeri di Medan meninggal dunia setelah dianiaya oleh oknum TNI. Berdasarkan keterangan keluarga, korban saat itu tengah menyaksikan aksi tawuran di wilayah Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara.
Dalam sidang di Pengadilan Militer, Sertu Riza Pahlivi divonis 10 bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menilai hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak seharusnya memberikan efek jera. Ia juga mendesak agar kasus ini diproses di peradilan umum.
“Kementerian PPPA menghormati seluruh proses hukum yang tengah berjalan, termasuk kewenangan peradilan militer. Namun kami mendorong agar seluruh aparat penegak hukum menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap proses dan putusan,” ujar Arifah.
Menurut Arifah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan di peradilan militer. HUM/GIT

