JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong kalah dalam sidang praperadilan melawan Kejaksaan Agung (Kejagung). Status tersangka kasus dugaan korupsi impor gula pun dinyatakan sah.
Sidang praperadilan Tom Lembong digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 26 November 2024. Hakim tunggal Tumpanuli Marbun menyatakan menolak seluruh permohonan Tom Lembong.
“Menolak permohonan praperadilan Pemohon,” ujar hakim.
Hakim menyatakan penyidikan yang dilakukan Kejagung sudah sesuai dengan prosedur. Hakim juga menolak eksepsi yang diajukan oleh pihak Kejagung.
Pertimbangan Hakim
Hakim turut menguraikan pertimbangan menolak praperadilan Tom Lembong. Hakim menyatakan bukti-bukti berupa dokumen yang dibawa pihak Kejagung dalam sidang praperadilan telah menunjukkan penetapan tersangka dilakukan dengan lebih dulu mengumpulkan alat bukti berupa keterangan 29 saksi dan tiga ahli hingga penyitaan barang bukti dalam proses penyidikan.
“Termohon telah berhasil mengumpulkan minimal dua alat bukti berupa keterangan saksi, bukti surat, keterangan ahli dan petunjuk namun sampai sejauh mana kebenaran materiil dari alat bukti tersebut bukanlah kewenangan dari lembaga praperadilan sebagaimana diuraikan di atas. Maka atas dasar pertimbangan tersebut hakim praperadilan tersangka terhadap pemohon oleh termohon telah memenuhi bukti permulaan bahkan didukung dua alat bukti yang sah,” ujar hakim Tumpanuli.
Namun, Hakim tidak menilai kebenaran keterangan saksi dan alat bukti yang digunakan penyidik. Menurut hakim, penilaian kebenaran materiil alat bukti hanya dapat dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan pokok perkara, bukan praperadilan.
Hakim juga menyebut Kejagung sudah memeriksa Tom Lembong sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, hakim tidak sepakat dengan pendapat ahli dari pihak Tom Lembong yang menyebut harus ada hasil audit kerugian negara dari BPK untuk menetapkan tersangka korupsi.
Hakim mengaitkannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur perhitungan kerugian negara itu. Menurut hakim, kerugian negara yang menjadi dasar penetapan tersangka akan diuji dan besarannya dapat berubah berdasarkan bukti-bukti di persidangan.
“Dalam perhitungan kerugian negara tidak diharuskan adanya bukti formal terlebih dahulu berupa perhitungan kerugian negara yang final atau pasti oleh lembaga tertentu dan cukup dinyatakan adanya kerugian negara yang nyata atau terjadi actual loss yang dapat dihitung sebab perhitungan demikian tidak akan menjadi pasti sampai diuji oleh majelis hakim pokok perkara. Jadi perhitungan oleh ahli hanya menjadi dasar pembuktian di sidang pengadilan sampai majelis hakim memutuskan besarnya kerugian negara tersebut sebab dalam hal-hal tertentu perhitungan kerugian negara tersebut dapat berubah berdasarkan bukti-bukti di persidangan,” ujar hakim.
Hakim mengatakan penahanan telah dilakukan sesuai aturan karena Tom Lembong dijerat pasal yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara. Hakim juga menyerahkan urusan pemeriksaan terhadap Menteri Perdagangan setelah Tom kepada Kejagung karena hal itu merupakan kewenangan penyidik.
“Menurut hakim praperadilan, alasan tersebut di luar materi praperadilan dan diserahkan sepenuhnya kepada Termohon sebagai penyidik,” ujarnya.
“Hakim praperadilan tidak dapat menyimpulkan apakah perkara yang dialami Pemohon sebagai bentuk kriminalisasi atau politisasi,” imbuh dia.
Kasus yang Jerat Tom Lembong
Kejagung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dugaan korupsi terkait impor gula yang terjadi pada tahun 2015-2016. Jaksa menduga Tom Lembong menyalahi aturan yang ternyata diteken sendiri oleh Tom.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan Tom Lembong diduga melakukan perbuatan itu bersama-sama dengan Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) saat peristiwa pidana yang disangkakan itu terjadi. Keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurut Kejagung, Tom Lembong yang saat itu menjabat Mendag memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor gula kristal mentah (GKM), padahal secara aturan yang diizinkan melakukan impor adalah BUMN.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula yang menggantikan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Permendag Nomor 117 Tahun 2015 itu ditandatangani Tom Lembong.
Pada akhir Desember 2015, menurut Kejagung, berlangsung rapat koordinasi bidang perekonomian yang salah satu pembahasannya adalah pada tahun 2016 Indonesia akan kekurangan GKP sebanyak 200 ribu ton sehingga diperlukan impor untuk stabilisasi harga dan pemenuhan stok. Merujuk pada aturan di atas, seharusnya Indonesia melakukan impor GKP langsung melalui BUMN dalam hal ini PT PPI.
Kejagung mengatakan Tom Lembong diduga memberikan izin impor gula kristal murni pada sejumlah perusahaan swasta tanpa melalui rapat koordinasi antarkementerian. Gula kristal murni itu lantas diolah korporasi-korporasi itu menjadi gula kristal putih.
“Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung,” kata Abdul Qohar.
“Setelah perusahaan-perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi yang sebesar Rp 13.000/kg, dan tidak dilakukan melalui operasi pasar,” imbuhnya.
Abdul Qohar menyebut perbuatan itu PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg. Selain itu dia menyebut negara mengalami kerugian sebesar Rp 400 miliar yang dihitung dari nilai keuntungan perusahaan-perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara atau BUMN, dalam hal ini PT PPI. HUM/GIT