YOGYAKARTA, Memoindonesia.co.id – Meski telah dibebastugaskan dari semua aktivitas akademik dan jabatan struktural, status Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Edy Meiyanto (EM), yang dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswi, hingga kini belum resmi dicabut.
Hal ini disebabkan oleh prosedur pencabutan gelar guru besar yang menjadi kewenangan penuh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
“Gelar guru besar itu ditetapkan melalui Surat Keputusan kementerian. Jadi, pencabutannya pun harus melalui kementerian. Kampus tidak memiliki kewenangan untuk mencabutnya,” ujar Sekretaris Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi, Sabtu 6 April 2025.
Sementara status hukumnya belum ditentukan secara final, UGM menegaskan bahwa pendampingan terhadap para korban tetap berjalan. Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) UGM terus memberikan bantuan psikologis dan hukum sesuai kebutuhan masing-masing korban.
“Setiap korban kami tangani secara individual. Bila dinilai sudah pulih secara psikis, pendampingan bisa dihentikan. Tapi jika belum, maka akan terus didampingi,” lanjut Andi.
Kasus EM menyorot penyalahgunaan relasi kuasa dalam dunia akademik, di mana posisi dosen senior atau guru besar dapat dimanfaatkan untuk mendekati dan menekan mahasiswa.
Meski UGM telah memiliki regulasi internal dan Satgas PPKS, keterlambatan informasi ke publik dan belum dicabutnya status guru besar menimbulkan pertanyaan besar soal komitmen lembaga terhadap keadilan dan transparansi.
Kini, publik menantikan langkah tegas dari UGM dan Kemendikbudristek dalam menjatuhkan sanksi setimpal terhadap pelaku kekerasan seksual di kampus.
Tak hanya demi keadilan bagi korban, tapi juga untuk memastikan bahwa kampus adalah ruang aman, bukan tempat relasi kuasa disalahgunakan. HUM/GIT