JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Suasana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memanas pada Jumat, 18 Juli 2025, saat Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto membacakan duplik dalam kasus dugaan suap penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR untuk Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
Hasto, yang dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp 600 juta oleh jaksa KPK, menyatakan keterkejutannya dan mempertanyakan keadilan tuntutan tersebut.
Hasto secara terang-terangan menyebut tuntutan yang diterimanya sebagai “aneh,” terutama denda Rp 600 juta mengingat tidak adanya kerugian negara dalam kasus yang menjeratnya.
“Pertanyaan ini penting, sebab penuntut umum juga punya tanggung jawab profesi dan etis. Nama-nama para penuntut umum tersebut akan menjadi catatan sejarah di dalam penegakan hukum yang seharusnya berkeadilan. Apalagi dengan denda Rp 600 juta, sungguh sangat aneh. Kasus ini tidak ada kerugian negara,” ujarnya dalam persidangan.
Lebih jauh, Hasto menuding bahwa tuntutan 7 tahun penjara tersebut bukan murni dari hati nurani jaksa, melainkan ada “order kekuatan” dari luar. Ia mengklaim bahwa pengaruh eksternal terhadap KPK bukanlah hal baru, melainkan sudah terjadi sejak lama.
Untuk mendukung argumennya, Hasto lantas menyinggung dua kasus besar yang pernah mengguncang publik: kasus korupsi proyek Hambalang yang menjerat Anas Urbaningrum dan kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait kematian Nasrudin Zulkarnaen.
“Kasus bocornya sprindik Anas Urbaningrum misalnya. Juga persoalan yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar, sangat kental sekali bagaimana kekuatan atau kekuasaan politik di luar telah memengaruhi KPK,” tegas Hasto.
Dalam kasus ini, jaksa meyakini Hasto bersalah melanggar Pasal 21 UU Tipikor juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. HUM/GIT