JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Di tengah kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjeratnya, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto membuka tabir soal sumber pendanaan partai politik di Indonesia.
Hal ini terungkap saat majelis hakim mencecarnya dengan pertanyaan mendasar bagaimana partai membayar gaji petinggi seperti Sekjen dan Ketua Umum, serta membiayai operasional harian?
Pertanyaan itu muncul dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 26 Juni 2025. Hasto, yang duduk sebagai terdakwa dalam kasus terkait buron Harun Masiku, menjawab dengan lugas.
“Dana operasi non-partai, itu sumbernya dari mana ya? Untuk katakanlah kesekretariatan, kemudian bayar listrik, bayar karyawan, security, termasuk bayar Sekjen atau bayar Ketua Umum katakanlah. Dari mana dananya itu?” tanya hakim.
Hasto pun merinci lima sumber dana yang menjadi tulang punggung keuangan PDI-P:
1. Dana APBN: Sumber dana utama berasal dari negara, yang dihitung berdasarkan perolehan suara partai dalam pemilu, yaitu Rp 1.000 per suara.
2. Iuran Wajib Anggota Legislatif: Anggota DPR dan DPRD dari PDI-P wajib menyisihkan sebagian gajinya melalui pemotongan otomatis.
3. Iuran dari Kepala Daerah: Kader yang menjabat sebagai kepala daerah juga ikut berkontribusi.
4. Dana Gotong Royong: Ini adalah potongan otomatis dari rekening pengurus partai setiap bulannya. Hasto menyebutnya sebagai “dana gotong royong”.
5. Bantuan Simpatisan: Partai juga menerima bantuan yang tidak mengikat dari simpatisan atau pendukung perjuangan PDI-P.
“Jadi ada lima sumber, Yang Mulia,” tegas Hasto, menjelaskan bahwa sistem ini sudah berjalan secara terstruktur.
Kesaksian Hasto memberikan gambaran transparan tentang bagaimana sebuah partai besar membiayai dirinya sendiri.
Di sisi lain, kasus yang menjerat Hasto tetap menjadi sorotan. Ia didakwa menghalangi KPK menangkap Harun Masiku, buron sejak 2020, dan menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp 600 juta untuk meloloskan Harun menjadi anggota DPR. HUM/GIT