JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Paulus Tannos, buronan kasus korupsi proyek e-KTP, akhirnya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Singapura. Dalam penangkapannya, Tannos mengaku memiliki paspor diplomatik dari Guinea-Bissau, sebuah negara di Afrika Barat.
Menurut laporan Straits Times yang dikutip pada Jumat, 24 Januari 2025, melalui pengacaranya, Paulus Tannos menyatakan bahwa paspor diplomatik tersebut digunakan sebagai bentuk perlindungan hukum.
Namun, klaim tersebut dibantah oleh Penasihat Negara Singapura, yang menegaskan bahwa paspor diplomatik tersebut tidak memberikan kekebalan diplomatik kepada Tannos karena tidak terakreditasi oleh Kementerian Luar Negeri (MFA) Singapura.
“Berdasarkan pemeriksaan kami dengan Kementerian Luar Negeri, tidak ada status diplomatik pada Tannos. Kami menegaskan bahwa ia tidak memiliki kekebalan diplomatik saat ini.”
Penangkapan Tannos dilakukan oleh Lembaga Anti-Korupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), setelah adanya permintaan dari Indonesia. CPIB kini sedang menunggu pengajuan ekstradisi resmi dari pihak berwenang Indonesia untuk melanjutkan proses hukum terhadap Tannos.
“Singapura berkomitmen untuk terus bekerja sama erat dengan Indonesia sesuai dengan proses hukum yang berlaku,” kata pihak CPIB.
Tannos, yang telah menjadi buronan sejak 19 Oktober 2021, saat ini ditahan sementara di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura dan mengikuti proses pengadilan dengan bantuan seorang penerjemah Bahasa Indonesia. Ia diwakili oleh pengacara Hamidul Haq dari firma hukum Rajah dan Tann.
Paulus Tannos adalah Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, perusahaan yang bertanggung jawab atas pembuatan dan distribusi blangko e-KTP. Sejak 2019, ia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 145 miliar.
Selain Paulus Tannos, terdapat tiga tersangka lain yang sudah dijatuhi hukuman penjara, yakni:
1. Miryam S Haryani (Anggota DPR 2014-2019)
2. Isnu Edhi Wijaya (Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, PNRI)
3. Husni Fahmi (Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP)
Paulus Tannos diduga terlibat dalam pertemuan dengan Andi Agustinus, Johanes Marliem, dan Isnu Edhi Wijaya untuk memenangkan konsorsium PNRI dan menyepakati fee 5 persen, yang kemudian dibagi kepada anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri. Praktik korupsi ini terjadi sebelum proyek e-KTP dilelang.
Setelah bertahun-tahun menjadi buronan, Paulus Tannos akhirnya ditangkap di Singapura. Kini, KPK tengah melengkapi dokumen-dokumen untuk proses ekstradisi Tannos ke Indonesia agar dapat diadili atas perannya dalam kasus korupsi e-KTP. HUM/GIT