JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango menyindir para pejabat yang asal-asalan mengisi laporan harta kekayaannya. Yang jadi pertanyaan, KPK bisa apa?
Kewajiban terkait pelaporan harta itu sudah diatur sejak 1999, tapi sayangnya tidak ada sanksi yang mengatur jelas. KPK hanya bisa memberikan rekomendasi pemberian sanksi ke institusi di mana pejabat itu berada.
Memang pejabat apa yang berkewajiban melaporkan hartanya?
Pejabat yang dimaksud adalah penyelenggara negara. Nomenklatur itu ada pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Nomenklatur yang sama juga terdapat di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah direvisi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Beranjak lebih jauh, penyelenggara negara itu wajib melaksanakan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atau lazim disingkat LHKPN. KPK sendiri diberi amanah berupa wewenang untuk melakukan pendaftaran dan memeriksa LHKPN tersebut.
Definisi penyelenggara negara sendiri, oleh KPK, diejawantahkan dalam Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2024, yang merupakan perubahan kedua dari Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan LHKPN. Pertanyaannya: Siapa saja yang dimaksud penyelenggara negara?
Dalam Peraturan KPK itu disebutkan pada Pasal 4A yaitu:
(1) Penyelenggara Negara yang wajib melaporkan LHKPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;
b. pejabat negara pada lembaga tinggi negara;
c. menteri;
d. gubernur;
e. hakim;
f. pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
g. pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat negara yang lain dalam ketentuan ini misalnya:
a. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh;
b. wakil gubernur;
c. bupati/wali kota; dan
d. wakil bupati/wakil wali kota.
(3) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis merupakan pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
a. ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. pimpinan lembaga atau pejabat setingkat menteri;
c. wakil menteri atau wakil pimpinan lembaga;
d. direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah serta anak perusahaan badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah;
e. Pimpinan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan, serta ketua dan anggota badan supervisi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan;
f. pimpinan perguruan tinggi negeri;
g. pejabat eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. staf khusus menteri atau pimpinan lembaga;
i. jaksa;
j. penyidik termasuk penyidik pegawai negeri sipil;
k. panitera pengadilan;
l. juru sita pengadilan;
m. pemimpin dan bendaharawan proyek;
n. kepala dan wakil kepala instansi vertikal kementerian/lembaga di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
o. pimpinan tinggi pratama atau pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
p. pemeriksa, auditor, atau pejabat yang menjalankan tugas dan fungsi sejenis;
q. pejabat pembuat komitmen;
r. pejabat publik yang mengelola anggaran atau keuangan di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
s. pejabat fungsional pengadaan barang dan jasa; dan
t. jabatan lain yang memiliki fungsi strategis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain kategori di atas, KPK menyertakan pada Pasal 4A ayat (4) yaitu institusi-institusi bisa juga menetapkan sendiri penyelenggara negara untuk wajib LHKPN selain yang sudah ditentukan di atas. Begini bunyi pasalnya:
(4) Kementerian/lembaga, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, anak perusahaan badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dapat menetapkan Penyelenggara Negara yang wajib melaporkan LHKPN selain dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
LHKPN Abal-abal
Nah, pada Senin, 9 Desember 2024, Nawawi Pomolango melempar sindiran soal LHKPN. Dia menyebut banyak pejabat yang tidak jujur dalam mengisi data hartanya.
“Lebih banyak abal-abal daripada benarnya,” kata Nawawi.
Memang dalam konteks LHKPN, KPK tidak dalam posisi proaktif menelusuri harta para pejabat. Namun para pejabat itu yang melaporkan hartanya baru kemudian KPK yang melakukan verifikasi. Salah satu hal yang ditemukan KPK yang kemudian disebut Nawawi abal-abal yaitu ada pejabat yang mencantumkan kepemilikan mobil Toyota Fortuner tapi harganya Rp 6 juta.
“Kita nanya ke dia gitu di mana dapat Fortuner Rp 6 juta? Kita pengin beli juga 10 gitu kan, itu kan kondisi yang ada,” ucap Nawawi melempar sindiran.
Lantas apa yang bisa dilakukan KPK?
Pelaporan LHKPN dibatasi waktu. Dalam praktiknya, apabila ada keterlambatan atau bahkan pejabat yang wajib malah tidak melaporkan, KPK diberi wewenang untuk menindaklanjuti. Sayangnya, wewenang itu hanya sebatas rekomendasi. Hal itu tertuang pula dalam Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2024 tepatnya pada Pasal 21, isinya:
(1) Dalam hal Penyelenggara Negara:
a. terlambat melaporkan LHKPN;
b. tidak melaporkan harta dalam LHKPN secara lengkap dan benar;
c. tidak memenuhi undangan klarifikasi dalam rangka pemeriksaan LHKPN;
d. tidak melakukan perbaikan LHKPN atas hasil konfirmasi/klarifikasi sesuai dengan
ketentuan pelaporan LHKPN; dan/atau
e. tidak melaporkan LHKPN,
Komisi menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, anak perusahaan badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah tempat Penyelenggara Negara berdinas untuk memberikan sanksi kepada Penyelenggara Negara.
(2) Terlambat melaporkan LHKPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pelaporan yang melewati tanggal 31 Maret pada tahun berjalan.
(3) Tidak melaporkan LHKPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan tindakan tidak melapor LHKPN sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berjalan.
(4) Dalam hal Penyelenggara Negara merupakan anggota legislatif, Komisi menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan partai politik atau Majelis Etik Partai atau Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberikan sanksi sesuai kode etik yang berlaku.
Begitulah mirisnya. Tidak ada konsekuensi tegas yang mengatur terkait LHKPN abal-abal. Namun dalam beberapa kasus yang diusut KPK ada pula yang bertalian dengan LHKPN, bahkan ada peran serta publik di situ. Misalnya dalam perkara Rafael Alun yang bermula dari penelusuran publik terhadap para pejabat yang suka pamer kekayaan atau flexing. KPK bergerak dan menjerat mereka menjadi tersangka.
“Kasus Rafael Alun, ada kasus Eko Darmanto itu LHKPN sudah bisa kita lihat di situ begitu berbedanya apa yang dicantumkan di dalam LHKPN, apa yang kita temukan itu jungkir balik faktanya, itu ada ratusan bahkan lebih daripada itu yang kita temukan bahwa ketidakjujuran dalam pengisian LHKPN,” kata Nawawi.
Tak Ada Flexing, KPK Tak Bisa Apa-apa
Namun justru itu yang jadi masalah. Bagaimana jika si pejabat ini tidak memamerkan hartanya?
Pertanyaan itu yang dilontarkan Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Hal ini yang disebut Boyamin membuat KPK tidak berdaya.
“Kalau tidak ada flexing, KPK kan nggak bisa apa-apa. Jadi salahkanlah dirimu hai KPK jelas-jelas kamu tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apa-apa dan banyak menyerahnya, itu yang menjadikan semakin parah,” kata Boyamin.
Bukan hanya soal isi LHKPN abal-abal. Boyamin menyebut banyak pula pejabat yang bahkan tidak mengisi LHKPN.
“Itu dilakukan karena tidak ada sanksi bagi orang yang tidak ngisi LHKPN. Itu hanya semata-mata dilaporkan atasannya untuk tidak dipromosi misalnya, atau dicopot jabatannya baru sebatas itu. Sehingga ada keberanian bukan hanya ngisi tidak benar, tapi sampai pada level tidak mengisi dan tidak melapor aja terjadi,” kata Boyamin.
“Jadi ini yang memang memprihatinkan. Kalau soal kebenaran lebih ngeri lagi, ngisi yang dikecil-kecilin yang disembunyikan harta-hartanya. Dan itu dari proses itu KPK bisa menindaklanjuti, tapi KPK tidak bisa apa-apa, lebih banyak menyerahnya, tidak mengejar tidak melakukan treatment sehingga orang semau-maunya aja,” imbuhnya. HUM/GIT