Oleh: Rudy Rianto LG, Petisi PROMEG 96
POSISI Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya merupakan salah satu jabatan yang sangat strategis sekaligus keramat. Mengapa demikian?
PDIP adalah partai pemenang pemilu di Surabaya, dengan penguasaan posisi-posisi penting dan strategis, seperti Ketua DPRD dan Wali Kota Surabaya. Karena itu, tak mengherankan jika kursi Ketua DPC PDIP Surabaya menjadi incaran banyak pihak yang berambisi untuk mendudukinya.
Dalam pandangan saya, keluarnya sanksi partai terhadap empat pengurus PDIP Surabaya kemungkinan besar memiliki kaitan dengan dinamika perebutan kursi keramat tersebut. Bahkan setelah munculnya gonjang-ganjing terkait video viral dari salah satu pengurus yang dikenai sanksi, akun media sosial yang bersangkutan tampak sudah tidak dapat diakses—kemungkinan telah dihapus atau di-take down.
Sebagai partai yang kini memosisikan diri sebagai “oposisi”, PDIP perlu melakukan introspeksi menyeluruh dan holistik agar mampu kembali merebut kemenangan dalam pemilu raya, baik legislatif maupun pilpres.
Salah satu langkah strategis yang bisa ditempuh adalah memperkuat konsolidasi organisasi, konsolidasi ideologi, dan menjelma menjadi kekuatan politik yang “menangis dan tertawa bersama rakyat”.
Kita bisa belajar dari pengalaman PDIP saat menjadi oposisi di era Presiden SBY, ketika partai ini tampil sangat kritis, ideologis, dan tegas dalam membela kepentingan rakyat. PDIP saat itu menjadi partai yang tidak hanya bersuara, tetapi juga berpihak secara nyata.
Mengacu pada hal tersebut, PDIP perlu berani mengambil langkah strategis, yakni menempatkan kader-kader yang memiliki komitmen kuat untuk sepenuhnya fokus menjaga, merawat, dan membesarkan partai—tanpa keterlibatan dalam pencalonan legislatif maupun eksekutif. Hal ini penting agar tidak terjadi konflik kepentingan, terutama dalam momentum pemilu.
Jika ketua maupun sekretaris partai tidak terlibat dalam kontestasi pemilu, maka mereka bisa lebih fokus pada agenda pemenangan partai secara utuh, baik di pemilu nasional maupun Pilkada serentak. Ini sejalan dengan contoh yang telah ditunjukkan oleh DPP PDIP, di mana Ketua Umum dan Sekjen partai tidak memegang jabatan publik, melainkan fokus membesarkan partai dari dalam.
Dengan menjadikan ketua dan sekretaris sebagai tokoh penggerak konsolidasi internal, diharapkan friksi-friksi di tubuh partai bisa mencair dan soliditas partai tetap terjaga. PDIP tidak boleh kehilangan ruh dan semangat perjuangannya. Tidak boleh kehilangan identitas dan sejarahnya.
Sebagai satu-satunya partai yang lahir dari pergolakan melawan otoritarianisme Orde Baru, PDIP ojo pedot oyot—jangan putus akarnya. Sejarah panjang perjuangan inilah yang harus menjadi fondasi utama dalam konsolidasi menyambut dan menghadapi Kongres VI PDIP tahun 2025, dengan tujuan utama: merebut kembali kemenangan secara nasional. (***)