JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Sebanyak 37 Warga Negara Indonesia (WNI) asal Kota Makassar, Sulawesi Selatan, ditangkap di Madinah dan dipulangkan karena menggunakan visa haji palsu. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Pemerintah Arab Saudi untuk menertibkan jemaah non-visa haji.
“Saya mendukung kebijakan Pemerintah Arab Saudi untuk menertibkan jemaah non-visa haji ini, terutama menindak pihak-pihak yang mengajak WNI untuk berhaji tanpa visa haji, baik melalui travel ataupun institusi keagamaan lainnya,” kata Ace dalam keterangan yang diterima, Rabu, 5 Juni 2024.
Ace menegaskan bahwa kebijakan tersebut adalah konsekuensi dari aturan Saudi bahwa ibadah haji hanya boleh diikuti oleh jemaah yang resmi mendapatkan visa haji dari Pemerintah Arab Saudi. Ia juga mengimbau agar masyarakat tidak tergiur dengan penawaran pemberangkatan haji selain haji reguler.
“Bagi masyarakat Indonesia, kami mengimbau jangan mudah tergiur dengan tawaran pemberangkatan haji selain haji reguler, haji khusus, atau visa furoda (mujammalah). Lebih baik bertanya kepada otoritas yang memiliki kewenangan seperti Kementerian Agama di daerah masing-masing,” jelasnya.
Alasan Masyarakat Tak Boleh Berhaji Pakai Visa Non-Haji
Ace menjelaskan alasan mengapa masyarakat tidak boleh berhaji menggunakan visa non-haji, salah satunya untuk mengantisipasi kekacauan saat ibadah haji.
“Mengapa visa selain haji tidak boleh turut serta menjalankan ibadah haji? Kita tahu bahwa menunaikan ibadah haji itu hanya dapat dilaksanakan dengan jumlah yang terbatas karena kapasitas dan daya tampung jemaah haji seluruh dunia itu maksimal 2,5 juta jemaah, terutama di Mina. Lebih dari itu pasti akan crowded atau penuh sesak yang akan berakibat pada situasi yang chaos,” ujar Ace.
Ia menambahkan bahwa pemerintah Arab Saudi telah mempersiapkan berbagai infrastruktur haji dengan kapasitas berdasarkan jumlah jemaah haji seluruh dunia yang telah dibagi secara proporsional kepada setiap negara berpenduduk muslim.
Indonesia sendiri mendapatkan kuota sebesar 221.000 jemaah dan tambahan sebanyak 20.000 jemaah, menjadikannya negara dengan kuota terbesar dari Pemerintah Arab Saudi.
“Mempersiapkan infrastruktur haji ini antara lain tenda di Arafah dan Mina, konsumsi selama puncak haji, dan juga transportasi untuk melayani pergerakan jemaah terutama saat Arafah, Mudzdalifah, dan Mina. Jika pelayanan jemaah melebihi dari kapasitas yang telah dipersiapkan pasti akan menimbulkan kekacauan,” jelas Ace.
Menurut pengalaman Ace, ada juga jemaah visa non-haji yang mengambil hak jemaah reguler atau yang memakai visa haji. Hal ini menyebabkan jemaah yang memakai visa haji tidak mendapatkan pelayanan yang baik karena haknya diambil oleh jemaah visa non-haji.
“Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi berdasarkan pengalaman dua tahun terakhir, saya menyaksikan banyak jemaah haji non-visa haji menempati dan mengambil hak-hak jemaah reguler (jemaah visa haji) yang justru seharusnya mereka mendapatkan pelayanan yang baik,” katanya.
Ace juga menyatakan bahwa jemaah haji resmi yang sudah menunggu puluhan tahun sering kali haknya diambil oleh jemaah non-visa haji.
Tahun lalu, banyak jemaah non-visa haji yang mendahului menggunakan bus yang seharusnya dipergunakan untuk jemaah haji reguler. Mereka juga menempati tenda di Arafah maupun di Mina yang telah dipersiapkan untuk jemaah resmi, serta mendapatkan konsumsi.
“Karena mereka bukan jemaah haji resmi karena menggunakan visa non-haji, pada umumnya mereka tidak mendapatkan tasreh (surat izin resmi dari Pemerintah Arab Saudi) sehingga mereka memang tidak mendapatkan alokasi tenda dan makanan selama musim haji. Oleh karena itu, mereka ini akhirnya mengambil hak-hak jemaah yang resmi,” ungkapnya. HUM/GIT