SOLO, Memoindonesia.co.id – Kabar duka menyelimuti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIII wafat pada Minggu pagi 2 November 2025 setelah menjalani perawatan medis sejak 20 September lalu.
Kabar tersebut dikonfirmasi oleh kuasa hukumnya, KPAA Ferry Firman Nurwahyu Pradotodiningrat, yang menyebut bahwa PB XIII tutup usia dalam perawatan rumah sakit.
Pakubuwono XIII dikenal sebagai sosok pemimpin yang berupaya menjaga wibawa dan kehormatan keraton di tengah masa sulit. Selama dua dekade kepemimpinannya, ia berhasil memulihkan hubungan keluarga besar Kasunanan Solo setelah bertahun-tahun dilanda perpecahan pascawafatnya PB XII.
Awal Kehidupan dan Latar Belakang
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII lahir di Surakarta pada 28 Juni 1948 dengan nama kecil Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi. Ia merupakan putra sulung dari PB XII, raja Keraton Solo sebelumnya.
PB XII memiliki enam istri dan 35 anak, membuat persoalan penerus takhta menjadi kompleks. Sejak kecil, Hangabehi tumbuh dalam lingkungan bangsawan yang menjunjung tinggi tata krama dan nilai-nilai luhur budaya Jawa.
Sebelum dinobatkan menjadi raja, ia aktif dalam urusan adat istana dan kehidupan internal keraton. Sebagai putra tertua, Hangabehi dianggap calon pewaris sah takhta. Namun, setelah PB XII wafat pada 11 Juni 2004, konflik suksesi pun muncul.
Konflik Suksesi Keraton Solo
Pasca wafatnya PB XII, dua tokoh muncul sebagai calon penerus: KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan.
Melalui rapat Forum Komunikasi Putra Putri (FKPP) PB XII pada 10 Juli 2004, keluarga besar menetapkan Hangabehi sebagai penerus. Namun, sebelum penobatan berlangsung, sebagian keluarga lain menobatkan Tejowulan sebagai raja pada 31 Agustus 2004.
Perseteruan kian memanas hingga sempat terjadi bentrokan di lingkungan keraton. Meski begitu, penobatan Hangabehi tetap digelar pada 10 September 2004 di Bangsal Manguntur Tangkil, Sitihinggil Lor, dan dihadiri perwakilan bangsawan serta duta besar negara sahabat.
Upaya Rekonsiliasi dan Kepemimpinan
Memimpin di tengah perpecahan bukan perkara mudah bagi PB XIII. Ia terus berupaya menyatukan kembali keluarga besar Keraton Solo dan menjaga pelestarian budaya Jawa.
Pada peringatan jumenengan tahun 2009, PB XIII menampilkan tari sakral Bedhaya Ketawang, dan momen tersebut menjadi bersejarah karena dihadiri Tejowulan.
Upaya rekonsiliasi akhirnya mencapai puncak pada tahun 2012 melalui mediasi DPR RI, Pemerintah Kota Surakarta di bawah kepemimpinan Joko Widodo, serta perwakilan keluarga besar.
Dalam kesepakatan damai itu, Tejowulan mengakui Hangabehi sebagai PB XIII yang sah, dan dianugerahi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung, serta diangkat sebagai Mahapatih Keraton. Kesepakatan tersebut mengakhiri dualisme kepemimpinan di Kasunanan Solo.
Warisan dan Akhir Perjalanan
Selama masa pemerintahannya, PB XIII dikenal sebagai sosok rendah hati yang konsisten menjaga adat dan tradisi. Ia mendorong pelestarian seni klasik, pembinaan abdi dalem, serta penguatan kegiatan budaya di lingkungan keraton.
Wafatnya PB XIII pada usia 77 tahun meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Surakarta dan keturunan trah Mataram.
Warisan terbesarnya adalah semangat menjaga harmoni di tengah perbedaan, serta upaya meneguhkan nilai-nilai budaya Jawa agar tetap lestari bagi generasi mendatang. HUM/GIT

