JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Kabar duka menyelimuti keluarga besar TNI dan publik Indonesia. Kematian tragis Prada Lucky Chepril Saputra Namo, seorang prajurit muda yang baru dua bulan mengabdi, kini memasuki babak krusial.
TNI Angkatan Darat secara resmi telah menetapkan empat prajurit sebagai tersangka atas dugaan penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Prada Lucky.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menegaskan komitmen institusi untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Saat ini dari sejumlah personel yang diperiksa, sementara oleh penyidik Pomdam IX/Udayana sudah ditetapkan 4 orang tersangka dan dilaksanakan penahanan di Subdenpom IX/1-1 di Ende,” ungkapnya.
Keempat prajurit yang kini menjadi tersangka adalah Pratu AA, Pratu EDA, Pratu PNBS, dan Pratu ARR. Penyidik masih terus bekerja keras untuk mendalami peran masing-masing tersangka, sebuah langkah penting untuk menentukan pasal pidana yang tepat dan tahapan hukum selanjutnya.
Kasus ini menjadi sorotan serius, mengingat prajurit seharusnya menjadi pelindung, bukan justru pelaku kekerasan.
Tak berhenti pada empat nama itu, penyidikan terus bergulir. Saat ini, sebanyak 16 prajurit lainnya masih menjalani pemeriksaan intensif.
Brigjen Wahyu Yudhayana menyampaikan bahwa tidak menutup kemungkinan akan ada penambahan tersangka dari hasil pemeriksaan lanjutan.
“Perkembangannya nanti kita lihat dan akan disampaikan lebih lanjut hasil pemeriksaannya,” tuturnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pihak TNI berkomitmen untuk tidak menutupi kasus ini dan akan memproses semua pihak yang terlibat sesuai hukum yang berlaku.
Sementara proses hukum berjalan, duka mendalam menyelimuti keluarga Prada Lucky. Jenazahnya telah dikebumikan di TPU Kapadala, Kelurahan Airnona, Kupang, NTT. Momen pemakaman menjadi saksi bisu betapa terpukulnya keluarga atas kepergian putra kedua mereka.
Orang tua Prada Lucky, Sersan Mayor Christian Namo dan Sepriana Paulina Mirpey, tak kuasa menahan tangis dan isak tangis saat memberikan penghormatan terakhir.
“Sayang e, kami tidak sanggup,” teriak mereka pilu, mencium peti jenazah sang putra. Momen ini menggambarkan luka yang tak terlukiskan, ditinggalkan oleh seorang anak yang baru memulai pengabdiannya. HUM/GIT