JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto menyampaikan pesan tegas kepada para hakim yang baru dilantik: jauhi gaya hidup mewah dan pamer jabatan. Menurutnya, integritas dan kesederhanaan adalah kunci utama bagi seorang hakim.
Dalam pembinaan hakim di sebuah hotel di Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Juni 2025, Sunarto secara spesifik meminta para hakim untuk tidak menempelkan stiker atau tulisan “hakim” di mobil atau pakaian mereka.
“Nanti kalau ada kesempatan punya mobil, jangan ditempel stiker hakim-hakim. Kaca depan hakim, samping hakim, belakang hakim. Jabatan saudara tidak perlu dipamerkan, tapi perlu dinikmatin oleh semua pihak, termasuk diri saudara. Kalau dipamerkan, berisiko,” tegas Sunarto.
Sunarto menekankan bahwa jabatan hakim seharusnya “tersembunyi” dan tidak dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi, bahkan untuk menghindari tilang lalu lintas. Ia mengaku tidak ingin mendengar ada hakim yang memanfaatkan jabatannya demi lolos dari hukuman.
“Ada tahu para pihak yang berperkara, baru pakai motor, apa, Mio, kanan-kiri stiker hakim, biar polisi tidak menangkap. Tidak boleh. Tidak boleh. Ada mobil, gantungannya di dalam itu, di kaca spion depan, kasih tulisan hakim. Ke mana-mana baju tulisan hakim, ke pasar. Ke pasar, ke toko, hakim, main tenis, tulisan hakim lagi. Ini jabatan yang tersembunyi. Jangan ditonjol-tonjolkan,” ungkapnya.
Alih-alih memamerkan, Sunarto menyebut bahwa orang-orang akan mencari hakim karena integritas dan kemandirian mereka.
“Orang akan mencari saudara. Tidak usah saudara kampanye. Saudara dicari. Betul ini dicari oleh semua pihak,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Sunarto menyoroti pentingnya independensi bagi seorang hakim. Ia mengatakan bahwa independensi adalah kemampuan untuk memutuskan secara mandiri tanpa tekanan atau intervensi, baik dari pihak eksternal maupun internal.
“Independensi, menghadiri secara mandiri tanpa tekanan atau intervensi. Itu yang harus saudara jaga. Karena marwah saudara ada di situ,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa godaan terbesar bagi hakim justru datang dari diri sendiri atau orang terdekat, terutama terkait iming-iming materi. Sunarto memberi contoh bagaimana tawaran uang bisa menggoda hakim, terutama ketika ada dorongan dari keluarga.
“Pak, ini ada Rp 50 juta. Itu kan gaji saya satu bulan. Pak, ini ada 100, Pak. Nah, itu gaji saya dua bulan setengah, ditawarin lagi Rp 1 M, ini berapa bulan? Tahun ini, dua tahun setengah. Ya, mulai sehari dua hari, tahan godaan. Satu bulan, dua bulan, tahan godaan. Setahun, dua tahun, tahan godaan. Berikutnya, apalagi yang menggoda adalah pasangan kita. Anak kita, orang tua kita, famili kita. ‘Pak, anak kita ini lho, Pak, sakit. Ini operasi lagi’. Mudah-mudahan tidak terjadi,” pungkasnya. HUM/GIT