SURABAYA, Memoindonesia.co.id – Maraknya peredaran minuman beralkohol (mihol) di pasaran yang tidak diketahui kandungannya menjadi perhatian serius Komisi D DPRD Surabaya. Oleh karena itu, Komisi D mendesak pemerintah kota (Pemkot) Surabaya, khususnya dinas terkait, untuk lebih serius dalam mengawasi kandungan minuman beralkohol tersebut.
Ketua Komisi D DPRD Surabaya, dr. Akmarawita Kadir, menegaskan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28H Ayat 1, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9, dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Semua peraturan tersebut mengatur dengan jelas tentang perlindungan kesehatan masyarakat.
“Jangan sampai minuman beralkohol menyebabkan masyarakat menjadi tidak sehat. Secara medis, kita tahu bahwa kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol—baik yang modern, tradisional, maupun oplosan—dapat menimbulkan dampak negatif baik secara fisik, mental, maupun psikososial,” tegasnya, Kamis, 9 Januari 2025.
Untuk itu, pihaknya meminta Pemkot Surabaya melalui dinas terkait untuk lebih intensif mengawasi peredaran mihol di pasaran agar tidak terjadi kecolongan. Bila pengawasan lalai, dampaknya bisa sangat serius bagi kesehatan masyarakat dan menimbulkan masalah sosial.
“Kami sangat khawatir akan penyalahgunaan mihol, pengoplosan, serta peredaran minuman beralkohol yang tidak memiliki izin edar. Ini harus kita awasi dengan serius agar tidak sampai terjadi,” ujar dr. Akmarawita, yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) Surabaya.
Dia menambahkan, kasus keracunan akibat minuman beralkohol oplosan sudah sering kali menjadi sorotan. Banyak kasus yang berujung pada kebutaan, kerusakan otak, bahkan kematian. Selain itu, dari segi sosial, minuman beralkohol dapat merusak tatanan sosial, mengganggu ketertiban, dan memicu tindak kekerasan.
Kasus-kasus seperti tawuran, kecelakaan lalu lintas, bahkan tindak kriminal berat sering kali terjadi akibat pengaruh alkohol, yang tentunya sangat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
“Oleh karena itu, pengawasan terhadap peredaran mihol harus lebih komprehensif dan menyeluruh. Semua pihak harus berperan aktif untuk mencegah penyalahgunaan alkohol,” lanjut dr. Akmarawita.
Menurutnya, peran dinas-dinas terkait di Surabaya masih perlu ditingkatkan. Pengawasan harus dilakukan secara rutin dan berkala terhadap semua jenis minuman beralkohol, baik yang modern, tradisional, maupun oplosan.
“Aturannya sudah jelas, jika melanggar ada sanksi administratif dan pidana yang tegas. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pangan, sanksi tersebut dapat berupa peringatan tertulis, pemusnahan produk, hingga penghentian kegiatan produksi dan peredaran. Bila terbukti menyebabkan kematian, hukuman pidana bisa mencapai 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 20 miliar. Izin edar yang tidak memenuhi aturan juga dapat dikenakan pidana,” sambungnya.
Pihaknya juga mendesak Dinas Kesehatan untuk bersinergi dengan BPOM agar secara rutin melakukan uji mutu terhadap minuman beralkohol, khususnya yang bersifat tradisional, agar kadar etanolnya tidak melebihi batas yang diperbolehkan, yakni maksimal 55%.
“Pengawasan ini harus dilakukan secara rutin dan melibatkan partisipasi masyarakat. Kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melaporkan pelanggaran terhadap larangan produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi minuman beralkohol,” tambahnya.
Meskipun regulasi terkait sudah ada dan sanksi pelanggaran cukup berat, dr. Akmarawita menyayangkan masih banyaknya korban yang jatuh, baik dari segi kesehatan maupun dampak sosial yang timbul.
“Apakah kita akan membiarkan penyalahgunaan mihol, seperti pengoplosan dan penyalahgunaan izin edar, terus terjadi? Tentu saja tidak. Semoga setelah rapat dengan BPOM, Dinkes, Disbudporapar, dan Dinkopdag pada hari ini, pengawasan terhadap minuman beralkohol dapat lebih ditingkatkan,” pungkas dr. Akmarawita, yang juga merupakan adik kandung politisi senior Adies Kadir. HUM/CAK