JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Fakta baru terungkap dalam penyelidikan ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Polisi mengungkap pelaku menggunakan remote untuk mengendalikan bom yang meledak di area sekolah.
Dansat Brimob Polda Metro Jaya, Kombespol Henik Maryanto, menjelaskan bom yang meledak di masjid sekolah dikendalikan dari jarak jauh. Analisis barang bukti menunjukkan daya ledak berasal dari empat baterai AAAA, dengan bahan peledak mengandung potassium chloride dan sistem pemicu electric mass.
“Switching-nya menggunakan receiver yang dikendalikan dengan remote, namun remote tidak ditemukan di masjid,” kata Henik dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Selasa 11 November 2025.
Henik menambahkan, total ada tujuh bom yang ditemukan di lokasi. Dua bom meledak di masjid, empat di bank sampah sekolah, dan satu di area taman baca. Beberapa bom masih dalam kondisi aktif saat tim penjinak bahan peledak (Jihandak) melakukan evakuasi.
“Di TKP pertama ditemukan dua kawah ledakan yang menunjukkan dua bom sudah meledak di dalam masjid. Empat bom lainnya kami temukan di bank sampah, dua sudah meledak dan dua lainnya masih aktif. Satu bom lain ditemukan di taman baca dalam kaleng minuman lengkap dengan sumbu bakar dan remote,” jelasnya.
Sementara itu, Kabid Balistik Metalurgi Forensik (Balmetfor) Mabes Polri, Kombespol Ari Kurniawan Jati, menyebut bahan peledak di rumah pelaku memiliki daya ledak rendah atau low explosive. Hasil analisis laboratorium juga menunjukkan kesesuaian bahan antara bom di lokasi kejadian dan bahan peledak yang ditemukan di rumah pelaku.
“Baik di TKP masjid, dekat bank sampah, maupun rumah pelaku, semuanya menggunakan bahan dengan kekuatan rendah,” ujarnya.
Densus 88 Antiteror memastikan insiden ini bukan tindak pidana terorisme, melainkan tindakan kriminal umum.
“Tidak ada keterkaitan dengan jaringan teror global, regional, maupun domestik. Pelaku bertindak secara mandiri,” tegas PPID Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana.
Mayndra menambahkan, pelaku berinisial ABH diduga terinspirasi dari kasus kekerasan ekstrem di luar negeri. Pelaku juga menulis nama-nama pelaku penembakan di Kanada dan Selandia Baru pada senjata mainan yang dibawa saat beraksi.
“Simbol-simbol itu hanya inspirasi, bukan bentuk afiliasi. Pelaku juga memiliki motif dendam akibat perlakuan yang diterimanya di lingkungan sekolah,” katanya. HUM/GIT

