JAKARTA, Memoindonesia.co.id– Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rudi Suparmono, dituntut hukuman 7 tahun penjara oleh jaksa dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Perkara ini menjadi sorotan publik lantaran berawal dari vonis bebas kontroversial terhadap Gregorius Ronald Tannur, terdakwa penganiayaan yang menewaskan kekasihnya, Dini Sera Afrianti, pada tahun 2023.
Kasus ini bermula ketika Ronald Tannur, setelah menganiaya Dini Sera Afrianti hingga tewas pada 2023, ditangkap dan diseret ke meja hijau.
Namun, secara mengejutkan, Ronald Tannur divonis bebas, memicu gelombang protes keras dari masyarakat. Jaksa lantas mengajukan kasasi atas putusan kontroversial tersebut.
Pada 22 Oktober 2024, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa, menganulir vonis bebas Ronald Tannur, dan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara.
Tak berhenti di situ, pada 23 Oktober 2024, Kejaksaan Agung (Kejagung) bergerak cepat menangkap tiga hakim yang memvonis bebas Ronald, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Penyelidikan melebar, Kejagung kemudian menangkap sejumlah pihak lain yang terlibat, termasuk mantan pejabat MA Zarof Ricar sebagai makelar perkara, pengacara Ronald Tannur bernama Lisa Rachmat, serta ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja. Kini, nama-nama tersebut telah divonis bersalah dan menjalani hukuman penjara.
Sebagai pengembangan kasus, Kejagung menetapkan Rudi Suparmono sebagai tersangka baru dan berhasil menangkapnya di Palembang pada 14 Juni 2025, sebelum membawanya ke Jakarta untuk proses hukum lebih lanjut.
Proses persidangan Rudi dimulai pada Mei 2025. Jaksa mendakwa Rudi menerima suap sebesar SGD 43 ribu (sekitar Rp 548 juta) dari pengacara Ronald, Lisa Rachmat.
Uang tersebut diduga diberikan agar Rudi memilih majelis hakim yang mengadili perkara Ronald sesuai dengan permintaan Lisa.
Selain itu, Rudi juga didakwa menerima gratifikasi dengan total nilai fantastis, mencapai Rp 21,9 miliar selama menjabat sebagai hakim.
Gratifikasi ini disebut diterima dalam berbagai mata uang, yaitu Rp 1.721.569.000, USD 383 ribu, dan SGD 1.099.581.
“Telah menerima uang sejumlah total Rp 1.721.569.000, USD 383.000, dan SGD 1.099.581 harus dianggap sebagai suap yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas,” jelas jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 19 Mei 2025.
Setelah melewati serangkaian persidangan, jaksa menuntut Rudi Suparmono dihukum 7 tahun penjara. Jaksa meyakini Rudi terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Rudi Suparmono oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 tahun,” tegas jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 28 Juli 2025.
Tak hanya pidana penjara, Rudi juga dituntut membayar denda sebesar Rp 750 juta. Jika denda tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Jaksa menyoroti hal-hal memberatkan, seperti perbuatan Rudi yang tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dan telah mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap institusi yudikatif.
Namun, ada juga hal-hal meringankan, yaitu sikap Rudi yang sopan, kooperatif, memiliki tanggungan keluarga, serta belum pernah dihukum sebelumnya.
Jaksa semakin meyakini bahwa Rudi menerima suap terkait pengurusan perkara Ronald Tannur sebesar SGD 43 ribu. Selain itu, jaksa juga menegaskan bahwa Rudi menerima gratifikasi senilai total Rp 21,9 miliar selama menjabat hakim.
“Bahwa mata uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing yang ditemukan oleh penyidik di rumah terdakwa Rudi Suparmono yang beralamat di Jalan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat tersebut dikemas sedemikian rupa oleh terdakwa, lalu terdakwa simpan ke dalam empat buah tas berbentuk koper maupun ransel,” ungkap jaksa.
Rudi sempat berdalih bahwa uang rupiah yang diterimanya merupakan honor sebagai narasumber di Dinas Sumber Daya Air serta Bina Marga Kota Surabaya.
Namun, jaksa menyatakan bahwa rekap honor yang dihadirkan Rudi tidak sesuai dengan jumlah uang yang ditemukan.
Terlebih lagi, Rudi tidak dapat membuktikan asal-usul penerimaan uang dalam bentuk mata uang asing, dan saksi pun tidak dapat membuktikan adanya transaksi jual beli yang sah dengan mata uang asing.
Yang tak kalah penting, jaksa mengungkapkan bahwa uang yang diduga gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, serta tidak dicantumkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rudi. HUM/GIT