JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut tuntas dugaan korupsi dana hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang bersumber dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022.
Dalam pengembangan kasus ini, lima kepala desa di Jawa Timur telah dipanggil dan diperiksa secara intensif oleh penyidik KPK.
Mereka dicecar mengenai proses pembentukan Pokmas hingga mekanisme pencairan dan pengelolaan dana hibah tersebut.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi bahwa seluruh saksi hadir dalam pemeriksaan yang digelar di Polres Lamongan pada Rabu 23 Juli 2026 .
“Semua saksi hadir, didalami terkait proses pembentukan pokmas sampai dengan pencairannya,” ujar Budi kepada wartawan, Kamis 24 Juli 2025.
Lebih lanjut, penyidik KPK juga menggali informasi mengenai pengelolaan dana Pokmas tersebut.
KPK mencurigai adanya keterlibatan pihak-pihak yang terafiliasi dengan para tersangka yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Penyidik juga mengkonfirmasi apakah dana pokmas dikelola sendiri atau dikelola orang-orang yang terafiliasi dengan tersangka,” terang Budi.
Lima kepala desa yang diperiksa KPK meliputi Mulyono (Kepala Desa Menongo), Moh Lasmiran (Kepala Desa Sukolilo), Setiawan Hariyadi (Kepala Desa Banjargandang), H Sulkan (Kepala Desa Gedangan), dan Moh Yusuf (Kepala Desa Daliwangun).
Selain itu, seorang pihak swasta bernama Suyitno juga turut diperiksa sebagai saksi.
Kasus dana hibah Jawa Timur ini mencuat setelah KPK mengidentifikasi sejumlah potensi penyimpangan dan minimnya transparansi dalam pengelolaannya.
Budi Prasetyo sebelumnya mengungkapkan bahwa KPK menemukan titik rawan seperti verifikasi penerima hibah yang tidak profesional, sehingga memicu keberadaan Pokmas fiktif dan duplikasi penerima.
“Tercatat 757 rekening dengan kesamaan identitas (nama, tanda tangan, dan NIK),” ungkap Budi pada Senin 21 Juli lalu, menggambarkan betapa rentannya sistem penyaluran dana tersebut.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur sendiri mengelola dana hibah yang fantastis, mencapai Rp 12,47 triliun untuk periode 2023-2025, dengan lebih dari 20 ribu lembaga penerima.
Dana ini seharusnya disalurkan untuk sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat.
Namun, investigasi KPK menemukan adanya indikasi pengaturan jatah hibah oleh pimpinan DPRD yang berpotensi membuka peluang penyalahgunaan anggaran.
Parahnya lagi, dana hibah ini diduga dipotong oleh koordinator lapangan (korlap) hingga 30 persen.
“Pemotongan dana hibah hingga 30 persen oleh koordinator lapangan, terdiri dari 20 persen untuk ‘ijon’ kepada anggota DPRD dan 10 persen untuk keuntungan pribadi,” jelas Budi.
21 Tersangka Terjerat Kasus Dana Hibah Jatim
Hingga saat ini, KPK telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengurusan dana hibah untuk Pokmas APBD Jatim tahun 2019-2022.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari perkara yang sebelumnya menjerat mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak.
“Kami sampaikan bahwa pada tanggal 5 Juli 2024 KPK menerbitkan sprindik terkait dugaan adanya TPK dalam pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat atau Pokmas dari APBD Provinsi Jatim tahun anggaran 2019 sampai dengan 2022,” ujar Jubir KPK Tessa Mahardhika, pada 12 Juli 2024.
Dari total 21 tersangka, empat di antaranya adalah penyelenggara negara yang berperan sebagai penerima, sementara 17 lainnya terdiri dari 15 pihak swasta dan 2 penyelenggara negara sebagai pihak pemberi.
Pemeriksaan para kepala desa ini diharapkan dapat memperkuat bukti-bukti dan mengungkap lebih jauh jaringan korupsi dalam kasus dana hibah yang merugikan keuangan negara ini. HUM/GIT