JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kian meruncing.
Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini mengungkap fakta mengejutkan: Nadiem Makarim, eks Mendikbud, ternyata sudah membentuk grup WhatsApp untuk membahas proyek pengadaan laptop tersebut sebelum resmi dilantik sebagai menteri.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam jumpa pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa 15 Juli 2025, mengungkapkan bahwa grup WhatsApp yang dibentuk sejak Agustus 2019 itu diberi nama ‘Mas Menteri Core Team’.
Padahal, Nadiem baru diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019.
“Pada bulan Agustus 2019, [tersangka] Jurist Tan bersama-sama dengan NAM dan Fiona membentuk grup WhatsApp bernama ‘Mas Menteri Core Team’ yang sudah membahas mengenai rencana pengadaan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek apabila nanti NAM diangkat pada tanggal 19 Oktober 2019,” jelas Qohar.
Grup WA ini menjadi titik awal terkuaknya dugaan konspirasi. Sekitar Desember 2019, Jurist Tan menghubungi tersangka Ibrahim Arief dan Yeti Khim untuk membuat kontrak kerja sebagai konsultan teknologi di Kemendikbud. Ibrahim Arief kemudian bertugas membantu program TIK Kemendikbud dengan fokus pada Chrome OS.
Qohar membeberkan, Jurist Tan, yang saat itu menjabat sebagai Staf Khusus Menteri, bersama Fiona, memimpin rapat-rapat daring.
Mereka meminta Direktur SD Sri Wahyuningsih (SW) dan Direktur SMP Mulyatsyah (MUL), serta Ibrahim Arief, untuk memastikan pengadaan TIK di Kemendikbudristek menggunakan Chrome OS.
Ironisnya, posisi Jurist sebagai Stafsus Menteri sebenarnya tidak memiliki tugas atau wewenang dalam tahap perencanaan dan pengadaan barang atau jasa.
Keterlibatan Nadiem Makarim semakin terlihat ketika ia disebut bertemu dengan pihak Google, yaitu William dan Putri Datu Alam, untuk membicarakan pengadaan TIK di Kemendikbudristek.
Pertemuan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Jurist Tan yang membahas teknis pengadaan Chrome OS, termasuk adanya “co-investment” sebesar 30 persen dari Google untuk Kemendikbudristek jika program TIK 2022 menggunakan Chrome OS.
Pada 6 Mei 2020, Jurist Tan, Sri Wahyuningsih, Mulyatsyah, dan Ibrahim Arief bahkan mengadakan rapat daring bersama Nadiem Makarim.
Dalam rapat itulah, Nadiem disebut secara eksplisit memerintahkan agar pengadaan TIK tahun 2020-2022 menggunakan Chrome OS dari Google, padahal saat itu proses pengadaan belum dimulai.
Ibrahim Arief, selaku Konsultan Teknologi dan orang dekat Nadiem, diduga aktif mengarahkan tim teknis untuk mengeluarkan hasil kajian teknis yang mengarah pada Chrome OS.
Qohar mengungkapkan, pada 17 April 2020, Ibrahim bahkan mempengaruhi tim teknis dengan mendemonstrasikan Chromebook saat zoom meeting.
“Ibrahim tidak mau menandatangani hasil kajian teknis pertama yang belum menyebutkan Chrome OS dalam pengadaan TIK di Kemendikbudristek sehingga dibuatkan kajian yang kedua,” pungkas Qohar, menunjukkan adanya tekanan dan intervensi dalam proses teknis.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mempertegas bahwa Nadiem Makarim terlibat aktif dalam pengadaan laptop ini. Buktinya, program digitalisasi ini sudah direncanakan jauh sebelum Nadiem menjabat sebagai menteri.
“Perencanaan terhadap program digitalisasi pendidikan ini sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum periode tahun anggaran 2020-2022. Bahkan sudah dilancarkan sebelum yang bersangkutan masuk di kabinet,” kata Harli.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan empat tersangka:
1. Sri Wahyuningsih (SW), Direktur Sekolah Dasar Ditjen PAUD Dikdasmen 2020-2021.
2. Mulyatsyah (MUL), Direktur SMP Kemendikbudristek 2020.
3. Jurist Tan (JT/JS), Staf khusus Mendikbudristek Bidang Pemerintahan era Mendikbudristek Nadiem Makarim.
4. Ibrahim Arief (IBAM), Konsultan Perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah pada Kemendikbudristek.
Pengungkapan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana keterlibatan Nadiem Makarim dalam skandal korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,9 triliun ini. HUM/GIT