MOJOKERTO, Memoindonesia.co.id – Tak mau kecolongan, Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Surabaya menggencarkan pengawasan orang asing dan pencegahan pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal hingga ke akar rumput.
Kali ini, giliran Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, yang digedor lewat rapat koordinasi Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) dan peluncuran program Desa Binaan Imigrasi.
Digelar Rabu siang, 28 Mei 2025, pertemuan lintas sektor itu mempertemukan jajaran Muspika, kepala desa, hingga aparat keamanan. Mereka dikumpulkan untuk satu tujuan: memperketat pengawasan WNA dan menutup celah pengiriman PMI nonprosedural.
Camat Ngoro, Satriyo Wahyu Utomo, dalam sambutannya menyentil soal lemahnya administrasi domisili WNA. Ia menekankan agar masa berlaku surat domisili harus sejalan dengan izin tinggal yang dikeluarkan Imigrasi.
“Ini bukan soal stempel semata. Kalau tidak tertib, desa bisa jadi pintu masuk pelanggaran keimigrasian,” tegasnya.
Dukungan mengalir dari Kabid Inteldakim Imigrasi Surabaya, Dodi Gunawan, yang menilai Ngoro sebagai wilayah strategis tapi rawan karena maraknya industri dan mobilitas tenaga kerja.
“Kami ingin desa tidak lagi jadi penonton. Pengawasan harus dimulai dari bawah, dari desa,” ujarnya lantang.
Ia pun menyerukan agar seluruh unsur Timpora turun tangan langsung mendukung program Desa Binaan Imigrasi.
“Kalau ada WNA tinggal, harus ada laporan. Kalau ada WNI hendak ke luar negeri tanpa prosedur, harus dicegah,” tandasnya.
Diskusi menghangat ketika Kapolsek Ngoro mempertanyakan mekanisme pelaporan WNA. Dijelaskan bahwa APOA (Aplikasi Pelaporan Orang Asing) menjadi kewajiban pemilik penginapan dan perusahaan.
Desa dan aparat pun bisa ikut mengawal pelaporan agar tak ada WNA yang “ngumpet” tanpa jejak administrasi.
Danramil Ngoro, Kapten Inf Herman Hidayat, juga mempertanyakan peran TNI dalam struktur Timpora. Ditegaskan, TNI punya peran strategis sesuai SK Timpora, dan bisa ikut aktif dalam pemantauan lintas sektor.
Tak hanya teori, kegiatan dilanjutkan dengan paparan teknis oleh petugas Imigrasi Anton Purnomo. Ia membeberkan soal izin tinggal, pelaporan kehilangan dokumen, hingga status anak berkewarganegaraan ganda.
Beberapa kepala desa bahkan mengusulkan agar Surat Domisili WNA dibatasi hanya satu bulan, agar para WNA wajib rutin lapor.
Yang paling mencolok adalah langkah Imigrasi yang menetapkan sembilan desa di Ngoro sebagai Desa Binaan Imigrasi: Ngoro, Kutogirang, Lolawang, Sedati, Manduro Manggunggajah, Watesnegoro, Purwojati, Wonosari, dan Candiharjo.
Harapannya, desa-desa ini menjadi garda depan dalam pengawasan orang asing dan pencegahan PMI ilegal.
“Desa jangan diam. Kalau ada WNA tinggal, datangi. Kalau ada WNI pergi tanpa prosedur, cegah. Ini soal perlindungan bangsa,” tegas Dodi menutup acara.
Dengan sinergi semua pihak, Timpora Ngoro diharapkan bukan sekadar nama dalam SK, tapi menjadi tameng nyata dalam menjaga kedaulatan dan ketertiban wilayah. HUM/CAK