JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 memicu kekhawatiran akan dampak negatif, seperti penurunan daya beli masyarakat dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Wakil Ketua DPR Adies Kadir meminta semua pihak untuk tidak berspekulasi terkait kebijakan tersebut.
Menurut Adies, kenaikan PPN hingga 12 persen masih sebatas usulan dan keputusan akhir berada di tangan Presiden Prabowo Subianto.
“Berandai-andai tidak perlu. Menteri Keuangan pasti memiliki dasar yang jelas dalam pengusulan, dan Presiden Prabowo tidak akan mengambil kebijakan yang menyulitkan rakyatnya,” ujar Adies pada Rabu, 20 November 2024.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memastikan bahwa PPN 12 persen akan mulai diberlakukan pada Januari 2025. Langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), serta untuk mendukung pembiayaan program prioritas nasional.
Di sisi lain, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan Bachtiar Najamudin, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan PPN tersebut. Menurut Sultan, kebijakan ini perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan dampaknya terhadap pelaku usaha.
“Kami memahami semangat pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara. Namun, sebaiknya kenaikan pajak lebih fokus pada barang impor agar tidak membebani pelaku usaha domestik,” kata Sultan pada Selasa, 19 November 2024.
Sultan juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN berpotensi memicu inflasi dan menekan daya beli masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Ia berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan ini agar tidak menjadi kontra-produktif terhadap upaya pemulihan ekonomi nasional.
Kenaikan PPN menjadi isu penting yang memerlukan keputusan bijak dari pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan kesejahteraan masyarakat. HUM/GIT