JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Drama penangkapan kembali mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung setelah ia menghirup udara bebas dari Lapas Sukamiskin, Jakarta, sontak menjadi sorotan publik.
Nurhadi, yang sebelumnya telah divonis atas kasus suap dan gratifikasi, kini kembali ditahan terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penahanan kembali Nurhadi adalah bagian dari kebutuhan penyidikan untuk memastikan proses berjalan efektif.
“Penahanan seorang tersangka tentu merupakan kebutuhanan penyidikan,” ujar Budi pada Selasa 1 Juli 2025.
Langkah ini diambil demi kelancaran pengusutan kasus TPPU yang menjerat Nurhadi. Meskipun belum ada detail mengenai lokasi penahanan selanjutnya, penegasan KPK ini menunjukkan keseriusan mereka dalam menuntaskan perkara.
Sebelumnya, Nurhadi dikenal luas karena kasus suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara di MA yang menjeratnya bersama sang menantu, Rezky Herbiyono. Total uang yang diduga diterima Nurhadi mencapai sekitar Rp 46 miliar.
Kasus ini terungkap dari fakta persidangan dan penyidikan KPK yang menemukan bukti kuat adanya suap dalam pengurusan perkara perdata serta gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya pada rentang tahun 2015-2016.
Nurhadi bahkan sempat menjadi buronan KPK selama berbulan-bulan sebelum akhirnya tertangkap pada Juni 2020 di sebuah rumah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.
Atas kasus tersebut, ia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta pada tahun 2021, dengan total terbukti menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 49,5 miliar.
Namun, di samping kasus suap dan gratifikasi, Nurhadi juga telah ditetapkan sebagai tersangka TPPU. Inilah yang menjadi dasar penangkapan dan penahanan kembali dirinya begitu ia keluar dari Lapas Sukamiskin.
Penangkapan yang dilakukan pada Minggu 29 Juni 2025 di Lapas Sukamiskin ini menegaskan bahwa KPK tidak berhenti pada satu kasus saja. HUM/GIT