BOGOR, Memoindonesia.co.id — Lautan manusia membanjiri lereng Cisarua, Bogor, Jawa Barat, akhir pekan lalu. Lebih dari 60 ribu jamaah dari berbagai penjuru Nusantara memadati kawasan majelis untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar oleh Majelis Usman Bin Yahya.
Suara shalawat bergema di udara sejuk pegunungan, berpadu dengan getaran hati para pecinta Rasulullah yang datang tanpa pamrih, hanya karena cinta kepada Nabi Muhammad SAW, Sabtu, 1 November 2025.
Dipimpin langsung oleh Habib Usman bin Yahya, peringatan Maulid tahun ini bukan sekadar majelis dzikir, melainkan juga panggung keajaiban doa dan kasih sayang.
Sejumlah ulama dan habaib besar turut hadir, di antaranya Habib Jindan bin Naufal bin Salim bin Jindan, Habib Ubaidillah bin Idrus Al Habsyi, dan Habib Ismet bin Abdullah Al Habsyi, bersama ribuan santri dan jamaah dari berbagai kota.
Doa dari Guru untuk Murid yang Diselamatkan
Di tengah tausiyah yang menggugah hati, setelah menyebut deretan habaib dan tamu kehormatan, Habib Usman bin Yahya tiba-tiba berhenti sejenak. Suaranya menurun, teduh, namun penuh makna.
Ia kemudian menyebut satu nama, Adies Kadir, Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus murid yang telah lama berkhidmat kepadanya.
“Hadir juga di tengah saya murid saya, Haji Adies Kadir, yang dua tahun lalu hampir kolaps, hampir lewat. Didoakan di sini, di majelis ini, panjang umur, sehat, sampai hari ini. Dan Allah kasih kesehatan, keberkahan, dan semoga Allah kabulkan semua hajat-hajatnya, doa-doanya, serta Allah lindungi dari orang-orang yang dzalim. Allah selamatkan dan Allah berikan sehat wal afiat,” tutur Habib Usman, disambut gema shalawat Thibbil Qulub dari puluhan ribu jamaah.
Suasana seketika berubah hening. Beberapa jamaah meneteskan air mata. Tangis haru pecah, mengenang momen dua tahun lalu ketika seluruh jamaah bersatu memohon kesembuhan bagi Adies Kadir, sang murid yang kala itu tengah berjuang melawan sakit berat.
“Saya Diselamatkan oleh Doa”
Di hadapan para jamaah yang memadati majelis, Adies Kadir tak kuasa menyembunyikan rasa haru. Ia menunduk, menitikkan air mata, mengingat kembali masa di mana dirinya nyaris kehilangan nyawa — sebelum doa dari majelis ini menjadi jalan keselamatan baginya.
“Saya tidak pernah lupa bahwa kesembuhan saya adalah berkat doa para habaib dan jamaah majelis ini.
Doa mereka menjadi jalan rahmat Allah SWT untuk saya bisa kembali berdiri dan berkhidmat,” ujar Adies dengan suara bergetar.
“Dua tahun lalu saya hampir tak sanggup berdiri. Tapi di majelis inilah, doa dari guru saya, Habib Usman, dan para jamaah menjadi penolong. Alhamdulillah, Allah beri umur panjang dan kesehatan. Semoga saya bisa terus menggunakan kesehatan ini untuk berbuat kebaikan bagi masyarakat,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
Dari Sakit Menuju Pengabdian
Kini, Adies Kadir kembali aktif menghadiri kegiatan sosial, keagamaan, dan kemasyarakatan. Bagi dirinya, kesempatan untuk kembali berdiri di tengah masyarakat bukan sekadar kesembuhan fisik, tetapi tanda kebangkitan spiritual.
Ia menyadari, kesehatan yang dikembalikan Allah bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan untuk mengabdi dan menebar manfaat, sebagaimana pesan yang kerap diulang gurunya, Habib Usman:
“Kesehatan adalah amanah. Siapa yang disembuhkan, harus menjadi sebab kesembuhan bagi yang lain.”
Lautan Shalawat, Lautan Doa
Sore itu, ribuan jamaah kembali bershalawat dengan khidmat. Langit Cisarua terasa lebih dekat. Di antara gema dzikir dan lantunan doa, nama Adies Kadir menjadi simbol nyata betapa doa seorang guru dan jamaah bisa menembus langit, menyelamatkan nyawa, dan menumbuhkan semangat baru untuk berbuat kebaikan.
“Ini bukan hanya tentang nama yang disebut, tapi tentang cinta dan keberkahan yang dirasakan bersama,” ujar seorang jamaah sambil mengusap air matanya.
Malam itu, ribuan hati pulang dari Cisarua dengan pesan yang sama:
Bahwa setiap doa yang tulus, tak pernah hilang di langit. HUM/BAD

