JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Gelombang polemik baru menyelimuti ranah hukum dan politik Indonesia.
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, secara terbuka melayangkan kritik pedas terhadap terminologi Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang kerap digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kritik ini muncul menyusul penangkapan Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis, yang terseret kasus korupsi proyek pembangunan RSUD.
Dalam sebuah konferensi pers yang menarik perhatian publik, Surya Paloh mempertanyakan definisi OTT yang menurutnya bisa membingungkan.
“Agar yang namanya terminologi OTT, khusus terminologi OTT ini, bisa diperjelas oleh kita bersama,” ucapnya.
Paloh mencontohkan, jika pelaku suap dan penerima suap ditangkap di lokasi yang berjauhan, istilah OTT menjadi tidak relevan.
“Ini OTT apa? OTT plus,” ujarnya, mempertanyakan apakah istilah tersebut masih tepat digunakan. Ia berpendapat, penggunaan terminologi yang tidak akurat dapat merusak citra publik dan mengganggu jalannya pemerintahan.
Menanggapi kritik tersebut, KPK tidak tinggal diam. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, memberikan penjelasan rinci dan tegas.
Asep memaparkan bahwa definisi “tangkap tangan” dalam undang-undang tidak hanya terbatas pada penangkapan di lokasi kejadian.
“Tangkap tangan itu sendiri misalkan karena ditemukannya pada saat terjadinya tindak pidana orang itu, atau sesaat setelahnya,” jelasnya.
Asep juga membongkar kronologi penangkapan Abdul Azis yang ia sebut telah sesuai dengan prosedur. Berbekal informasi intelijen yang didapat sejak awal tahun, KPK menemukan adanya peningkatan komunikasi terkait transaksi keuangan pada pertengahan Juli.
Mendasari informasi tersebut, KPK menurunkan tiga tim di lokasi berbeda, yaitu Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
“Berbekal informasi yang kami peroleh tersebut, ya maka dilaksanakanlah kegiatan tangkap tangan tentunya sesuai dengan aturan undang-undang dan SOP yang ada pada kami,” tegas Asep, membantah kritik Surya Paloh.
Polemik terminologi ini muncul di tengah kasus korupsi yang serius. Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, telah ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan RSUD Kelas C. Proyek ini bernilai fantastis, yaitu Rp 126,3 miliar.
Menurut Asep, Abdul Azis diduga meminta commitment fee sebesar 8 persen dari total nilai proyek, yang jika dihitung mencapai sekitar Rp 9 miliar.
Selain Abdul Azis, empat tersangka lain yang terlibat adalah Deddy Karnady dan Arif Rahman (pihak swasta) sebagai pemberi, serta Andi Lukman Hakim (PIC Kemenkes) dan Ageng Dermanto (PPK) sebagai penerima.
Para tersangka penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sementara para pemberi disangkakan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU yang sama. HUM/GIT