JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Kasus dugaan korupsi penyalahgunaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu 31 Juli 2024.
Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Fajar Kusuma Aji, terungkap beberapa hal dari pembacaan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Di mana dalam kasus ini ada kerugian mencapai Rp 300 triliun.
Tiga terdakwa yang diadili di sidang perdana itu, Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2021-2024, Amir Syahbana; Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2015-Maret 2019, Suranto Wibowo; dan Plt Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode Maret 2019, Rusbani.
Amir Syahbana dan Suranto hadir secara fisik di Pengadilan Tipikor, sementara Rusbani hadir secara daring. Mereka akan didakwa merugikan negara senilai Rp 300 triliun.
Perihal kerugian dalam kasus Timah itu sejatinya sudah diungkap Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 29 Mei 2024. Burhanuddin menyebut jumlah kerugian bertambah mencapai Rp 300 triliun.
Suranto didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berikut adalah fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
1. Kadis ESDM Biarkan Pertambangan Ilegal
Jaksa menilai Suranto dkk telah melakukan kerja sama pengelolaan Timah dengan pihak swasta secara tidak sah atau ilegal.
Jaksa mengatakan Suranto selaku Kadis ESDM Babel saat itu menyetujui Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) periode tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 ilegal terhadap 5 (lima) Smelter. Adapun 5 perusahaan itu yakni PT Refined Bangka Tin beserta perusahaan afiliasinya, CV Venus Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, PT Sariwiguna Binasentosa beserta perusahaan afiliasinya, PT Stanindo Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, dan PT Tinindo Internusa beserta perusahaan afiliasinya.
“Yang dengan RKAB tersebut seharusnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan penambangan di wilayah IUP masing-masing perusahaan smelter dan afiliasinya, akan tetapi RKAB tersebut juga digunakan sebagai legalisasi untuk pengambilan dan mengelola bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah, Tbk,” ungkap jaksa.
Setelah itu, Suranto tidak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan pemegang izin usaha jasa pertambangan (IUJP) yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk periode 2015-2019. Akibatnya, pihak swasta yang bekerja sama dengan PT Timah leluasa melakukan penambangan secara ilegal dan melakukan transaksi jual beli bijih timah.
“Yang mengakibatkan tidak terlaksananya tata kelola pengusahaan pertambangan yang baik sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, karena pada kenyataannya RKAB yang telah disetujui tersebut hanya formalitas untuk mengakomodir pengambilan dan pengelolaan bijih timah secara ilegal dari wilayah IUP PT Timah, Tbk,” ujarnya.
Suranto juga menerima fasilitas berupa hotel hingga transportasi dari PT Stanindo Inti Perkasa.
2. Harvey Moeis dan Helena Lim Kebagian Rp 420 M
Jaksa membeberkan para tersangka yang menerima aliran uang korupsi ini salah satunya Harvey Moeis yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi.
Berikut ini pihak yang menerima aliran duit korupsi timah yang diungkap jaksa dalam dakwaan dengan total Rp 29.353.872.000.000:
1. Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung Amir Syahbana sebesar Rp 325.999.998,00
2. Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT RBT sebesar Rp 4.571.438.592.561,56
3. Tamron alias Aon (TN) selaku beneficial owner atau pemilik keuntungan dari CV VIP Rp 3.660.991.640.663,67
4. Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT SBS Rp 1.920.273.791.788,36
5. Suwito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT SIP atau perusahaan tambang di Pangkalpinang, Bangka Belitung Rp 2.200.704.628.766,06
6. Hendry Lie (HL) selaku beneficial owner atau pemilik manfaat PT TIN Rp 1.059.577.589.599,19
7. Memperkaya 375 Mitra Jasa Usaha Pertambangan (pemilik IUJP) diantaranya CV Global Mandiri Jaya, PT Indo Metal Asia, CV Tri Selaras Jaya, PT Agung Dinamika Teknik Utama setidak-tidaknya Rp 10.387.091.224.913,00
8. Memperkaya diantaranya CV. Indo Metal Asia dan CV. Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) setidak-tidaknya Rp 4.146.699.042.396,00
9. Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018 melalui CV Salsabila setidak-tidaknya Rp 986.799.408.690,00
10. Helena Lim (HLN) selaku Manajer PT QSE dan Harvey Moeis (HM) selaku perpanjangan tangan dari PT RBT Rp 420.000.000.000,00
3. Membeli Timah dari Tambang Ilegal
Pada 2015, PT Timah tidak lagi melakukan penambangan di darat. Namun PT Timah justru melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
“Bahwa sejak tahun 2015 PT Timah Tbk tidak lagi melakukan penambangan di wilayah penambangan darat, namun menampung bijih timah hasil penambang ilegal dalam wilayah IUP PT Timah Tbk,” ungkap jaksa.
PT Timah lalu menjalin kerja sama dengan penambang ilegal agar dapat membeli bijih timah. Padahal, kata jaksa, pihak PT Timah mengetahui bahwa penambangan ilegal itu dilarang.
“Meskipun mengetahui bahwa penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk tidak diperbolehkan, PT Timah Tbk menyepakati untuk membeli timah hasil penambangan ilegal tersebut dengan membuat dan melaksanakan Program Kerja Sama Mitra Jasa Penambangan agar dapat membeli bijih timah dari penambang ilegal,” ujarnya.
4. Metode Kaleng Susu
Lalu, pada pertengahan 2017, Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah bersama-sama Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan Emil Emindra selaku Direktur Keuangan PT Timah berkongkalikong untuk meningkatkan produksi bijih timah dengan cara membeli dari penambang baik mitra jasa pertambangan maupun penambang ilegal.
Untuk melegalkan itu, mereka meminta Ichwan Aswardy Lubis selaku Kepala Perencanaan dan Pengendalian Produksi PT Timah membuat program peningkatan sisa hasil penambangan (SHP) dari lokasi tambang di IUP PT Timah.
Selanjutnya, Alwin memerintahkan untuk melaksanakan pembelian bijih timah secara jemput bola. Pembelian dilakukan dari semua sumber dengan metode pembayaran tunai.
“Namun pelaksanaan pembayaran tersebut mengalami kendala karena pemilik bijih timah tidak bersedia menjual sesuai dengan harga yang ditetapkan dalam RAB PT Timah Tbk, melainkan berdasarkan harga pasar saat itu,” kata jaksa.
Akhirnya mereka mewajibkan karyawan yang berada di bawah pimpinan Alwin untuk mendatangi penambang ilegal yang melakukan pengambilan sisa-sisa hasil penambangan. Hal itu, ungkap jaksa, untuk melaksanakan program pembelian langsung bijih timah dari penambang ilegal.
PT Timah Tbk membeli bijih timah kadar rendah dengan harga kadar tinggi yang ditambang oleh penambang ilegal di dalam wilayah IUP PT Timah. Penentuan tonase bijih timah yang dibeli menggunakan ‘metode kaleng susu’ tanpa uji laboratorium,” ungkap jaksa.
5. Peran Harvey Moeis
Dalam dakwaan itu, terkuak peran Harvey Moeis. Disebutkan pada Agustus 2018, Harvey Moeis dan Reza Andriansyah, yang mewakili PT Refined Bangka Tin, menghubungi beberapa smelter yang akan bekerja sama dengan PT Timah.
Untuk menindaklanjuti rencana itu, Harvey bersama Reza menemui Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Pemilik smelter PT Sariwiguna Bina Sentosa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa pada 2019 mengetahui tidak akan mendapatkan persetujuan RKAB. Kemudian mereka mengusulkan kepada PT Timah Tbk untuk dibuatkan suatu kesepakatan agar bijih timah ilegal milik smelter swasta dapat dijual.
Tak hanya itu, smelter-smelter itu juga meminta agar bijih timah yang dipasok dilakukan pemurnian dan pelogaman. Tapi, syaratnya, pembayaran semuanya harus dilakukan PT Timah.
“Bahwa setelah mendengar usulan tersebut, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, dan Alwin Albar bersedia untuk membuat suatu kesepakatan yang ditindaklanjuti dengan melakukan beberapa kali pertemuan bersama Tamron, Harvey Moeis, Reza Andriansyah, Suparta, Robert Indarto, Suwito Gunawan, MB Gunawan, Fandi Lingga, Rosalina, dan Achmad Albani di Hotel dan Restoran Sofia,” lanjut jaksa.
Jaksa mengungkap Mochtar Riza dkk akhirnya setuju untuk menjadikan PT Refined Bangka Tin, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, dan CV Venus Inti Perkasa sebagai mitra kerja sama peleburan dan pemurnian pelogaman timah. Padahal, kata jaksa, kerja sama itu tidak termuat dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) PT Timah Tbk tahun 2018.
“Padahal mereka mengetahui dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) PT Timah Tbk tahun 2018 belum memuat rencana kerja sama tersebut, namun langsung menyetujui harga yang disepakati di atas harga pokok produksi pelogaman dan pemurnian di unit metalurgi PT Timah Tbk. Selain itu, kerja sama peleburan dan pemurnian pelogaman timah dilakukan tanpa melalui proses negosiasi,” kata jaksa.
Dalam pertemuan di Hotel dan Restoran Sofia pada Agustus 2018 disepakati harga sewa peralatan processing pelogaman timah sebesar USD 3.700 per ton SN di luar harga bijih timah yang harus dibayar oleh PT Timah Tbk kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa.
Sementara itu, khusus PT Refines Bangka Tin diberi penambahan insentif sebesar USD 300 per ton SN sehingga nilai kontrak khusus untuk PT Refined Bangka Tin menjadi sebesar USD 4.000 per ton SN.
Program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah PT Timah Tbk dengan PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa merupakan akal-akalan Mochtar, Riza, Alwin, Emil, bersama-sama dengan Tamron, Suwito, Rosalina, Fandi Lie, Robert Indarto Reza Andriansyah, dan Harvey Moeis. Harga sewa peralatan processing pelogaman timah itu jauh melebihi nilai HPP smelter PT Timah.
Selanjutnya, Harvey meminta pihak-pihak smelter menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan itu kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR). HUM/GIT