SIDOARJO, Memoindonesia.co.id – Deru sirene ambulans memecah kepanikan di kawasan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, pada Senin 29 September 2025 sore. Musala ponpes itu tiba-tiba ambruk, menimbulkan luka mendalam bagi para santri, keluarga, dan masyarakat.
Di tengah kepanikan, sejumlah relawan berdatangan untuk membantu proses penyelamatan, termasuk para pengemudi ambulans yang tanpa lelah mengevakuasi para korban.
Salah satu sosok yang berperan penting dalam koordinasi armada ambulans adalah Amellia (42), seorang sopir ambulans wanita yang telah terjun dalam dunia kemanusiaan sejak tahun 2016. Ia memimpin puluhan relawan dari berbagai organisasi dan yayasan yang turut membantu proses evakuasi korban ambruknya Ponpes Al Khoziny.
“Saya koordinator ambulans. Senin jam 16.15 WIB ambulans sudah standby atas permintaan Polresta Sidoarjo. Awalnya ada 15 unit, lalu bertambah hingga 36. Sekarang, karena sudah selesai, tinggal sekitar 10 unit,” ujar Amellia, Selasa 7 Oktober 2025.
Amellia dan timnya langsung bergerak tak lama setelah musibah terjadi. Mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap, mereka berjibaku tanpa henti sejak hari pertama hingga hari kedelapan operasi evakuasi. Tak ada waktu istirahat yang cukup, hanya semangat kemanusiaan yang menjadi bahan bakar mereka untuk terus melaju.
“Kalau panik, pasti iya. Kita nggak ada jam istirahat. Setelah mengantar jenazah ke RS Bhayangkara Polda Jatim, baru istirahat sebentar, lalu lanjut lagi,” kisahnya.
Sebagian besar armada ambulans yang digunakan merupakan milik pribadi atau organisasi nonpemerintah. Amellia sendiri membawa dua ambulans dari Info Lantas Sidoarjo (ILS). Pada hari pertama kejadian, satu ambulans bahkan bisa mengangkut hingga tiga korban luka.
“Kita stay di sini 24 jam. Ada yang bawain baju. Yang rumahnya dekat pulang, sisanya tetap di lokasi, bolak-balik terus,” lanjutnya.
Bukan hanya kelelahan fisik yang mereka rasakan, namun juga tekanan emosional. Saat pertama kali tiba di lokasi dan melihat santri-santri kecil berlarian dengan wajah berdebu dan penuh tangis, Amellia tak kuasa menahan air mata.
“Hari pertama pasti nangis. Awalnya dikira cuma 15 anak, ternyata banyak sekali yang berlari dengan wajah berdebu sambil menangis,” ungkapnya.
Kini, setelah operasi pencarian korban resmi berakhir pada hari kesembilan, Amellia dan tim masih melanjutkan tugas kemanusiaan mereka. Ambulans kini bersiaga di Polda Jatim, menunggu giliran mengantar para santri yang telah teridentifikasi ke rumah duka masing-masing.
“Ini panggilan kemanusiaan. Kita datang, evakuasi, selesaikan, lalu pulang. Nggak ada gaji, kita murni relawan,” tegas Amellia. HUM/GIT