SURABAYA, Memoindonesia.co.id – Ambruknya bangunan musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo pada Senin 29 September 2025 kini telah memasuki tahap penyidikan setelah menelan puluhan korban jiwa dan ratusan korban luka.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, menilai insiden tersebut berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum serius, baik secara pidana maupun perdata.
Menurut Satria, tanggung jawab hukum dapat dikenakan kepada beberapa pihak, bergantung pada hasil penyelidikan dan temuan teknis di lapangan.
“Pihak yang paling mungkin dimintai pertanggungjawaban meliputi pimpinan atau pemilik pesantren, kontraktor, serta konsultan perencana dan pengawas,” ujar Satria, Minggu 12 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, pimpinan pondok pesantren sebagai penggagas pembangunan memiliki tanggung jawab utama terhadap kelayakan dan izin bangunan.
Apabila pembangunan dilakukan tanpa izin resmi seperti IMB atau PBG, serta mengabaikan standar keselamatan, maka dapat dianggap lalai secara hukum.
Pelaksana konstruksi atau kontraktor juga dapat dimintai pertanggungjawaban apabila ditemukan kesalahan teknis, perhitungan struktur yang keliru, atau penggunaan material di bawah standar.
Demikian pula konsultan perencana dan pengawas dapat dikenai sanksi apabila lalai dalam perencanaan atau pengawasan mutu pekerjaan.
“Unsur pidana muncul bila kelalaian konstruksi menyebabkan jatuhnya korban jiwa atau luka-luka. Kasus seperti ini termasuk delik umum, artinya polisi dapat langsung melakukan penyelidikan tanpa menunggu laporan,” jelasnya.
Beberapa pasal yang dapat diterapkan antara lain Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian serta Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat atau ringan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 46 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2), juga mengatur pelanggaran terhadap persyaratan teknis bangunan.
“Selain pidana, aspek perdata juga dapat diberlakukan melalui gugatan ganti rugi oleh keluarga korban terhadap pihak yang dianggap lalai. Dasar gugatan bisa mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH),” ujarnya.
Satria menambahkan, ganti rugi dapat mencakup kerugian materiil seperti biaya pengobatan, pemakaman, hingga kerugian ekonomi, serta kerugian immateriil berupa penderitaan mental dan psikologis.
Penetapan pihak yang bertanggung jawab secara hukum, lanjutnya, harus melalui penyelidikan menyeluruh oleh kepolisian dengan dukungan tim ahli teknik sipil dan konstruksi.
“Penyelidikan harus memastikan penyebab pasti ambruknya bangunan, keberadaan izin pembangunan, serta bagaimana sistem pengawasan selama proyek berlangsung. Kepatuhan terhadap regulasi pembangunan dan prinsip kehati-hatian sangat penting agar peristiwa serupa tidak terulang. Keselamatan publik harus menjadi prioritas utama. Kegagalan bangunan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga tanggung jawab moral dan hukum,” pungkasnya. HUM/GIT