JAKARTA, Memoindonesia.co.id – Kabar mengejutkan datang dari Mahkamah Agung (MA). Mantan Ketua DPR Setya Novanto, terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun, mendapat angin segar.
MA telah mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya, membuka peluang Novanto untuk menghirup udara bebas lebih awal dari perkiraan.
Sebelumnya, pada tahun 2018, Novanto divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti USD 7,3 juta (dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dititipkan ke KPK) subsider 2 tahun penjara, serta pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah masa pidana selesai.
Namun, putusan PK terbaru MA, dengan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang diketok pada 4 Juni 2025, memangkas hukuman pidana penjara Novanto secara signifikan.
“Kabul. Terbukti Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan,” demikian bunyi putusan tersebut seperti yang tertera di situs resmi MA.
Meski demikian, Novanto tetap diwajibkan membayar denda Rp 500 juta dan uang pengganti USD 7,3 juta, dikurangi Rp 5 miliar yang telah disetorkan. Sisa uang pengganti sebesar Rp 49.052.289.803 masih harus dibayarkan, subsider 2 tahun penjara.
Tak hanya hukuman badan, pidana tambahan berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik Novanto juga dikurangi. Majelis hakim PK mengubahnya dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun setelah masa pidana selesai.
Putusan PK ini diketok oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. Proses PK ini memakan waktu 1.956 hari sejak diregistrasi pada 6 Januari 2020. Menariknya, dalam perjalanannya, salah satu hakim anggota sempat diganti karena masa tugasnya berakhir.
Menanggapi putusan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan menghormati keputusan MA. Namun, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyayangkan putusan tersebut.
“Sudah selayaknya pelaku tindak pidana korupsi dihukum dengan hukuman yang setinggi-tingginya, seberat-beratnya seperti yang pernah dilakukan oleh Hakim Agung almarhum Artidjo Alkostar, bukan dihukum dengan hukuman yang seringan ringannya,” tegas Johanis.
Di sisi lain, pengacara Novanto, Maqdir Ismail, justru berpendapat kliennya seharusnya bebas sepenuhnya.
“Pak Novanto itu, menurut hemat kami tidak bisa dihukum dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3. Dia tidak mempunyai kewenangan terkait dengan pengadaan e-KTP. Dia bukan anggota Komisi II DPR RI, sehingga dia tidak mempunyai kewenangan terkait dengan pengadaan e-KTP. Dia didakwa dengan pasal yang salah. Dakwaan yang paling tepat untuk dia adalah suap,” kilahnya.
Pengurangan hukuman ini tentu memengaruhi waktu kebebasan Novanto. Jika dihitung dari awal penahanan pada 2017 dan vonis 15 tahun penjara, ia seharusnya bebas pada 2032.
Namun, dengan putusan PK yang mengurangi hukumannya menjadi 12,5 tahun, Novanto berpotensi bebas pada pertengahan 2029.
Perhitungan ini belum termasuk hak remisi atau pembebasan bersyarat yang bisa didapatkan Novanto, seperti yang sudah dinikmati beberapa terpidana e-KTP lainnya seperti Irman dan Sugiharto yang bebas lebih cepat. HUM/GIT